Friday, February 23, 2007



Prof.Satmoko in Memorial:

Ilmu Pendidikan Humanistik Dari Seorang Nasionalis

(23-Desember 2006)

Oleh: Dr.Agus Salim,MS*.

Prof.drs.Satmoko (salah seorang guru besar FIP Unnes) telah meninggal dunia pada tanggal 23 Desember (jam 18.54) di RS Telogorejo Semarang. Beliau adalah dosen biasa, pemikirannya sederhana, bahwa pendidikan itu proses yang membawakan nilai-nilai pencerahan. Tetapi Prof.drs.Satmoko memiliki konsisten yang luar biasa sebagai Bapak, sebagai Guru dan Sebagai Teman Pengajar. Dalam gemericiknya air hujan memasuki persada akhir Jumat malam, belia meninggal kefanaan dan menuju Pusat Keabadian. Bagi saya (salah satu murid), beliau adalah seorang figur ’Bapak’ (hampir separuh dari 10 putra belia adalah teman sekolah saya di SMA III Smg dan putra ke 7 adalah Dr. Sri Mulyani Indrawati, Menkeu Kabinet sekarang), beliau adalah ’Guru’ saya (untuk MK. Metode Pengajaran) dan sekarang ini beliau adalah ’Colega senior’ yang masih aktip di Fakultas Pasca Sarjana UNNES (MK.Dasar-dasar Kependidikan). Beliau meninggalkan seorang Istri (Prof.Dr.Sri Ningsih) dan 10 putra/i pada usia 79 tahun. Kepergian beliau sebagai salah satu dari tiga Guru Besar emiritus yang masih bersedia mengembangkan MK Ilmu Pendidikan di Fakultas Ilmu Pendidikan UNNES, sungguh merupakan kehilangan besar bagi Komunitas Ilmu Pendidikan.

Sebagai pelopor perkembangan Ilmu Pendidikan beliau mengutamakan pendidikan nilai; yaitu memiliki pandangan filosofi yang tegas tentang humanisme, dan nasionalisme. Pandangannya ini segaris dengan teman colega beliau di Universitas Negeri Jogyakarta (Prof.Dr.Noeng Muhajir, Prof.Dr.Sodik Azis Kuntoro, Med.). Baginya mendidik guru adalah membangun karakter bangsa Indonesia yang kokoh, beliau mengakui bahwa selama ini Indonesia belum pernah menemukan landasan filosofi yang relevant dengan jiwa bangsa Indonesia. Berikut ini hasil rangkuman pemikiran beliau dari wawancara, ketika penulis ingin membuat kerangka pemikiran filosofis tentang mashab pendidikan di Indonesia dua bulan sebelum beliau wafat.

Ilmu Pendidikan Indonesia: belum pernah terumuskan

Menurut beliau bangsa Indonesia belum pernah merumuskan filsafat pendidikannya sendiri, sampai sekarang karena banyak distorsi. (1). Indonesia begitu merdeka dan bebas dalam berpikir kita belum memanfaatkan kebebasan itu. Kita terbentur pada kebinekaan. Secara historis, di Indonesia sebelum Belanda datang sudah memiliki ’sistem’ pendidikan sendiri. Yaitu jaman Mataram sebelumnya Majapahit, Sriwijaya dan sifatnya feodalistis. Budaya feodal sifatnya sentralis tidak desentralistik sehingga menjadi panutan yang kuat. Para pemikir Indonesia seperti Ronggowarsito yang memikirkan futurisme itu dan sudah meramalkan bahwa jaman yang akan datang bakal terjadi pluralisme yang cenderung tidak beraturan, nilai-nilai dasar budaya Indonesia yang plural belum sempat menjadi suatu sistem yang dianut oleh semua pihak.(2). Sampai sekarang belum pernah suatu teori pendidikan yang didukung oleh riset, (risetnya itu selalu beracuan Amerika). Di Indonesia sifat pendidikan direduksi menjadi ’schooling’ atau sekolah formal, hal itu dinilai terlalu tergesa-gesa. Harusnya secara embrional, pendidikan harus dilihat dalam kekuatan keluarga, bagaimana orang tua, dan masyarakat mendidik anak-anaknya (filsafat ing ngarso asung tuladha). Guru sekolah itu kedudukannya ada dalam proses persekolahan, guru adalah fasilitator (ing madyo mangun karso) yang aktip mendorong anak dalam arah yang benar. Tetapi guru yang berkualifikasi tidak sempat mengenal siswanya karena tanggung jawabnya cukup besar tetapi gajinya kecil.

Prof. Satmoko melihat kejadian sebagai akar fenomenologi yang berkembang di Indonesia. Pemikiran tentang sistem pendidikan Nasional, embrionya berasal dari Ki Hajar Dewantara yang menanamkan nilai dasar budaya Indonesia. Taman Siswa bukan penonjolan budaya jawa, tetapi perlawanan budaya lokal kepada pemerintah kolonialisme Belanda yang mendapat pembenaran dari berbagai suku-suku lain. Pada dasarnya mendidik itu adalah tanggung jawab yang mesti ditangani orang tua, bukan guru. Orang tua itu tidak siap untuk mendidik, karena dia melahirkan anak tanpa ilmu pendidikan, tapi secara instinktif/intuitif. Orientasi filosofi orangtua adalah sederhana, yaitu berupaya menanamkan nilai-nilai kemandirian untuk anak, dan sekaligus memberi bekal untuk dapat meneruskan hidupnya. Lalu orangtua menyadari bahwa dalam hidup itu, manusia tidak hanya mengejar kejerahan materi tapi hendaknya juga menyiapkan diri di masa akhir dunia. Dengan demikian hendaknya yang dibekalkan pada anak, adalah persiapan untuk hidup didunia dan akhirat. Beberapa orang kemudian dapat saling membandingkan pengalaman masing-masing.

Praktek Pendidikan dengan Percontohan

Prof Satmoko menilai bahwa pengaruh Amerika besar sekali terhadap keberadaan sistem pendidikan di Indonesia. Departemen Pendidikan Nasional hanya mengambil filsafat ’tut wuri handayani’. Pendidik-pendidik kita yang belajar di Amerika tidak mampu membendung masuknya liberalisasi,dan individualisasi. Anak dalam teori behavioralistik di asumsikan merupakan potensi, naturalistik harus didukung dengan filsafat ’Tut Wuri Handayani’. Padahal Ki Hajar Dewantara mengajarkan ketiga kesatuan (’Tripusat’) tak terpisahkan. Karena seorang anak juga butuh diberi contoh (tuladha), dan guru sebagai fasilitator harus mampu memberi arah pendidikan nilai yang jelas. Sehingga kita merupakan guru Indonesia menjadi korban; disatu pihak kita belum memiliki filosofi Indonesia tetapi ditataran praxis mengalirlah praktek pendidikan dengan program pengajaran yang sangat liberal. Pendekatan kompetensi diterapkan dalam pendidikan dan teknologi di sikapi sebagai panglima yang mengarahkan mutu pendidikan. Kita sekarang ini bisa menyaksikan ukuran-ukuran mutu hasil pendidikan yang dikaitkan dengan peningkatan knowledge. Ujian Negara (UN) menjadi patokan, padahal kita tidak menerima anak sebagai unsur teknologi tetapi sebagai pribadi manusia.

Indonesia sebetulnya telah memiliki filsafat Pancasila sebagai landasan filosofi pendidikan, pada masa lalu Pancasila telah kehilangan spiritnya karena inkonsistensi sikap dari bangsa kita. Filsafat Pendidikan Pancasila mengajarkan banyak hal, ada unsur religi, demokrasi, human relation, sampai pada keadilan.

Tapi di Indonesia dengan masuknya liberalisme dan kapitalisme, kita menjadi sangat behavioristik. Anak didik dipaksa untuk kreatif, inovasi dan bebas, sementara guru tidak bertanggung jawab kepada pembentukan nilai-nilai anak. Dengan demikian liberalisme dan kapitalisme hanya melahirkan kemampuan untuk memilih peluang, tetapi tidak menghasilkan sikap dan moral.

Bagi Prof.Satmoko hidup sebagai ’patron’, selama hidupnya ia memberi tulodho kepada Istri dan 10 anaknya untuk hidup sederhana dan mengembangkan nilai-nilai hidup normatif berdasarkan ajaran agama. Kondisi ini tidaklah mudah, apalagi pada masa jaman Orde Baru dimana tuntutan kemajuan materi sangat tinggi. Dengan kesederhanaan itu ia menghantar para puteranya menapaki kehidupan dengan pasrah dan tawakal. Baginya mendidik anak itu dimulai dari keluarga (millieu), lingkungan kerja (beliau pernah menjadi Dekan selama 2 periode) dan dalam keseharian selalu diupayakan kaidah hidup ’dadi guru, ora guroni tapi naberi’ (menjadi guru jangan sekali-kali merasa lebih pinter, tetapi memberi contoh).

Meskipun putranya menjadi Menteri Keuangan dan menantunya menjadi Dirjend Kelautan (eselon I) yang memimpin masuknya lembaga donor internasional untuk meningkatkan mutu SDM, Satmoko tetap memiliki idealisme dalam membangun pendidikan di Indonesia. Baginya modal asing telah mencabut dari akar (uprot) banyak kemampuan mandiri bangsa ini, mulai dari kemampuan petani, pedagang, pemodal dan birokrat. Sistem pendidikan harus dikembangkan dengan memberi kepercayaan kepada anak didik sepenuhnya. Untuk itu guru harus memiliki idealisme dan panggilan hati (beruf) untuk mencintai anak didiknya, sikap ini tidak dapat didapat dari sekolah tetapi perlu dilatih dalam kehidupan keseharian.

Selamat Tinggal

Kini Prof.Satmoko telah tiada, seorang yang biasa dan sederhana tetapi beliau memiliki magnitute kehidupan yang kuat, memiliki semangat idealisme yang besar bagi 10 anak, 25 cucu dan sekian ribu murid yang ditinggalkan. Tidak banyak orang yang seperti beliau pada masa kini, mewarisi sikap dan kepedulian kepada pendidikan dan diterapkan kepada pendidikan anak-anak dirumah. Dikalangan anak-anak beliau, Pak Sat (panggilan akrab) adalah seorang bapak yang penuh karisma yang periang dan selalu membuat Juke (cerita lucu) menanggapi perkembangan modern. Beliau pengagum artis kenamaan Agnes Monica, karena dinilai memiliki prospek untuk maju dan kelihatan telah mempersiapkan kariernya. Sebagai bapak dengan makanan unggulan tempe goreng, beliau juga memiliki perasaan romantisme yang tinggi. Pak Sat juga sempat membuat Hymne Unnes yang pada upacara prosesi pelepasan beliau dilingkungan senat guru besar (24 des) diperdengarkan. Lengkaplah sudah pemilikan Pak Sat sebagai guru, guru besar dan pinandito yang dimiliki Unnes. Dengan rasa haru dan bangga kita melepas kepergian pak Sat: “selamat tinggal pak Sat, kami rela melepaskanmu, karena kami yakin bahwa Satmoko muda masih dapat lahir kembali, lewat anak, cucu dan para murid yang mengembangkan pemikiranmu....Amien!. (Dr.Agus Salim,MS)


* Agus Salim, Doktor Sosiologi lulusan Universitas Indonesia, Pembantu Dekan Urusan Akademik, Fakultas Ilmu Pendidikan UNNES. Penulis Buku Indonesia Belajarlah, terbitan Gerbang Madani Semarang.

Tuesday, August 22, 2006

Studi Cina di Asia Tenggara

(Metodologi & Substansi Dalam Perspektif Lokal)

Oleh:
Agus Salim

Abstrak

Studi tentang Cina mulai menggeliat sebagai kekuatan indigenous dikalangan sarjana etnis Cina sendiri. Kalau dulu orang ingin belajar tentang etnis Cina harus membaca tulisan sarjana barat, tetapi sekarang orang harus menoleh kepada para sarjana dari etnis Cina sendiri. Oleh karena itu masalah-masalah tentang Cina mulai bergeser dari obyek narrative grand theoretic kepada subyec narrative yang menghasilkan meta theoretic social. Pergeseran peran para sarjana Cina yang membahas masalah tentang Cina, membuat distinsi dalam memandang setiap permasalahan. Gejala ini membuat sebuah gerakan pembelaan atas krisis multidemensi yang terjadi di Asia. Para sarjana Cina sependapat bahwa integrasi kekuatan local di Asia akan berhasil mengatasi berbagai dimensi krisis dengan kekuatannya sendiri. Pembahasan tentang masalah Cina merupakan arena dengan pemahaman baru yang terkait dengan kekuatan kajian secara intens.Tulisan ini bertujuan melihat kajian Cina di Asia Tenggara sebagai sebuah prestasi ilmiah yang sedang berkembang dikalangan sarjana Asia, dengan demikian akan berhubungan dengan kematangan metodelogi dan substansi yang dimilikinya.

Kata Kunci

Cina, Etnis, Kebudayaan dan Negara


Pendahuluan

Sejauh pengamatan satu decade terakhir ini, studi mengenai Cina di Asia Tenggara mulai menggeliat. Beberapa phenomena tentang Cina mulai tersibak dan terkendali dalam kajian teoretis yang lengkap. Masalah yang bersinggungan dengan konsep multikulturalisme kemudian menjadi menonjol baik dilihat dari Cina sebagai kekuatan etnis, budaya, ekonomi dan politik . Studi tentang Cina yang pada tahun 1980-an pernah dipersoalkan sebagai daerah abu-abu (gray area) karena para sarjana barat tidak pernah berhasil menyentuh masalah secara substansial, mengakibatkan persoalan itu menjadi tertutup dan tersebut sebagai ’masalah Cina’ (Chinese Problem).
Mengapa kajian Cina tidak pernah menyentuh masalah secara substansial?. Karena masalah Cina selalu dilihat sebagai minoritas, pertumbuhan ekonomi, sampai kepada masalah kewargaan negara.

The large alien minority was an embarrassment and it would be most convenient if it could somehow be made to disappear. Massexpulsion was not the answer, since that would plainly have a most disruptive effect on the economic stabilitation programme...mass naturalization of alien Chinese an Indonesian citizens seems to have been unthinkable alternative (Jemma Purdey,2006:20).

Menurut Leo Suryadinata (2004:2-4), sejauh ini permasalahan tentang Cina tidak pernah dibawa dalam ranah pengkajian Cina sebagai kekuatan etnis dan budaya. Setiap negara di Asia melihat etnis Cina dalam hubungannya dengan pembentukan ’nation’ sehingga mengakibatkan bias pandangan yang cukup signifikan yang merugikan perkembangan etnis Cina sendiri. Cina sebagai minoritas dalam sebuah ’nation’ seringkali dilihat sebagai istilah ’race’ yang merujuk pada entitas fisik. Kondisi ini tidak menguntungkan karena etnis Cina tidak pernah dilihat sebagai potensi kebudayaan secara utuh:

Ethnicity would normaly be centred on culture, on the core of ethnic self-conciousness that manifests inself in the awarencess of one’s own cultural roots .

Pengakuan intensitas budaya Cina telah ditulis oleh Iris Chang (The Chinese in America, 2003), bahwa sejarah Amerika dibangun dari kekuatan banyak negara. Orang-orang Cina datang dan berjuang keras dalam situasi yang tidak sama, tetapi mereka telah memiliki mimpi tentang ’nation’ yaitu Amerika sebagai negeri harapan. Kebanyakan orang-orang Cina datang sebagai buruh tetapi mereka juga memiliki sejumlah harapan untuk memperbaiki nasib keluarga dan anak-anaknya.
......that all maen are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable Rights, that among these are life, Liberty and pursuit of happiness
.
Pembentukan ‘nation’ diberbagai Negara di Asia Tenggara, memiliki beberapa kekhususan dalam hal ini terjadinya tarik menarik kepentingan antara pemerintah dan masyarakat itu sendiri. National building merupakan proses yang dinamis, melibatkan berbagai komitmen dari berbagai kelembagaan. Dalam hal ini merujuk kepada kekuatan kelembagaan budaya, kelembagaan ekonomi, kepentingan politik dan interaksi kepentingan global dalam satu wilayah tertentu. Menurut Wang Gungwu (dalam Leo Suryadinata,2003:1-19), secara konseptual pembentukan nation di perbagai negara di Asia Tenggara sangat ditentukan oleh tarik menarik antara kepentingan etnic dan relasi antar race yang terjadi di masing-masing negara.

Unity & Diversity: Asia Tenggara
Perbedaan mencolok antara Malaysia dan Indonesia dalam menempatkan kedudukan masyarakat etnis Cina merupakan model kebijaksanaan yang dipilih oleh masing-masing pemerintah. Meskipun mayoritas kedua masyarakat di kedua negara tumbuh sikap anti-Cina, tetapi komunitas etnis Cina relatif dapat menikmati hidup bebas di Malaysia. Masyarakat melayu di Malaysia yang merupakan mayoritas telah memberi peluang tumbuh dan kembangnya budaya Cina dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berbeda dengan yang terjadi dikalangan masyarakat melayu Indonesia, pihak pemerintah telah bersikap ganda. Disatu pihak pengusaha Cina diberi kepercayaan didalam mengelola dunia usaha tetapi pihak yang lain semua perilaku yang menjadi manifestasi budaya Cina pada masa lalu dilarang. Pada masa pemerintahan Presiden Abdulrakman Wahid, beberapa perarturan pemerintah (PP) tentang etnis Cina mulai diperbaiki, komunitas budaya Cina mulai mendapat peluang untuk hidup di Indonesia .
Dalam konstelasi geo-polities perlakuan kedua negara terhadap etnis minoritas Cina, sesungguhnya memiliki kesamaan. Struktur kepartaian yang didukung oleh kekuasaan partai yang dominan menarik basis pendukung dari etnis Cina dengan sistematis, tetapi dari segi implikasi perlakuan polities sebagai kekuatan budaya yang merdeka sangat berbeda. Di Malaysia partai yang berkuasa UMNO mencoba untuk menarik dukungan Malaysian China Association/MCA (Ho Khai & James Chin, 2001:68-110) dan di Indonesia sejak Golkar sampai PDIP selalu menarik simpati masyarakat minoritas etnis Cina dengan konpensasi monopoli perdagangan, sehingga kelihatan timpang karena tidak berpihak kepada kelompok pedagang non-Cina. Di Indonesia dan Malaysia etnis mayoritas non-Cina dan Cina memang sejak lama tidak bisa dipersatukan, mereka kelihatan tetap berinteraksi dipasar sebagai ruang publik, tetapi sekembalinya mereka kerumah masing-masing mereka akan hidup dalam budayanya sendiri (Mahatir Bin Mohamad, 2003: 11-13, Furnivall, 1940: 304). Pihak pemerintahan kolonial Belanda dan Inggris, secara sadar juga berusaha memecah warga tanah jajahan berdasarkan etnis dan budaya mereka. Masyarakat tanah jajahan bahkan tetap dibiarkan menjadi masyarakat ganda (Dual society). Seluruh kebijaksanaan kolonial hanyalah dipusatkan kepada kepentingan dasar ekonomi kapitalis yang berada dalam masyarakat agraris.
Kebijakan pemerintahan di negara-negara Asia Tenggara, dalam memperlakukan etnis Cina sebagai minoritas adalah berkisar antara upaya untuk mengadakan penyatuan (unity) dan pengakuan adanya perbedaan (divercity). Penempatan etnis minoritas Cina dalam pembentukan ’nation’ di masing-masing negara sangat dipengaruhi oleh posisi etnis Cina dalam konstelasi geo-politik dan ekonomi. Analog dengan pemikiran George Mc Turnin Kahin (1982) tentang peta politik di Asia Tenggara, maka wilayah ini membentang di sebelah selatan India dan Cina. Posisi ini memberikan dukungan bahwa struktur sosial dan budaya tradisional mereka memiliki persamaan, tetapi sebagai tanah bekas jajahan mereka memiliki akibat (dampak) yang cukup berbeda. Demikian juga posisi etnis minoritas Cina dalam pembentukan nation dimasing-masing negara memiliki warna yang spesifik, meskipun juga memiliki persamaan dalam bentuk keterlibatan perdagangan dengan masyarakat lokal.
Menurut Leo Suryadinata (2002: 8-10; 1999: 3-4), sebagian besar negara di Asia Tenggara dinamai sesuai dengan nama etnis dominan yang menghuni di wilayah negara tersebut (nation state). Malaysia adalah berasal dari nama etnis melayu, Burma yang sekarang disebut Myanmar dikuasai oleh etnis bhama, Vietnam didominasi oleh etnis viet, Muangthai (Thailand) di bangun oleh etnis thai dan Brunei Darussalam adalah kerajaan Melayu Islam dan terakhir Negara Laos dikuasai oleh etnis Lao. Dengan demikian posisi etnis Cina di hampir semua negara di Asia Tenggara adalah sebagai imigran yang minoritas. Dengan mengambil pemikiran Walkers Connor (1994: 45-46) dapat dijelaskan bahwa sebuah bangsa yang berdiri tetap berdasarkan kepada sebuah kelompok etnis (etno-nation). Disamping negara etno ada pula negara yang dibangun atas dasar kelompok etnis yang terintegrasi menjadi sebuah masyarakat yang memiliki nilai-nilai kehidupan bersama. Negara ini disebut negara sosial yang menegaskan dirinya dengan ikatan-ikatan sosial dan kebudayaan bersama. Di Asia Tenggara ada beberapa negara jenis kedua (negara sosial) ini yang sedang berproses untuk mencapai nilai-nilai yang disepakati bersama. Proses untuk mencapai integrasi antar etnis dan kebudayan dilakukan dengan pola kebijaksanaan oleh negara dengan sifat multikultural. Sedangkan kehidupan etnis Cina dapat dipahami dari situasi kehidupan masyarakat disetiap wilayah negara.

1. Penduduk etnis Cina di Malaysia pernah mencapai 35% dan sekarang berangsur-angsur turun menjadi 26%, jumlah yang cukup besar ini menjadikan kebijakan pemerintah cukup cair dan akomudatif dalam menempatkan mereka dalam negara yang berbasis etnis Melayu. Disadari jumlah etnis Cina yang begitu besar tidak mungkin melebur atau terintegrasi dalam masyarakat mayoritas Melayu, kecuali bahasa Melayu sebagai bahasa kebangsaan. Pemerintah Malaysia memberi peluang kepada kelompok etnis Cina untuk tetap menggunakan tiga pilar kebudayaan Cina, yaitu media massa Cina, organisasi Cina dan sekolah Cina. Dikalangan etnis mayoritas sejauh ini tetap memiliki perasaan sentimen kepada etnis minoritas ini, bahkan kelihatannya tetap menjadi bahaya latent yang sewaktu-waktu dapat meledak sebagai bentuk konflik terbuka. Di Malaysia selain penduduk melayu sebagai mayoritas dan etnis Cina sebagai minoritas, terdapat sejumlah etnis yang menempati semenanjung Malaka ini, yaitu India, Tamil, Patani-Thailand, Minang dll. Di negara ini, masing-masing etnis memiliki kebebasan untuk mengembangkan perilaku kebudayaannya sendiri; mereka berkelompok menempati pemukiman yang ada, memiliki pasar sendiri dan memiliki otonomi untuk melaksanakan kebudayaan dan ritual keyakinannya.

2. Meskipun Brunai Darussalam memiliki kondisi yang serupa dengan Malaysia, tetapi perlakuan negara terhadap etnis Cina sangat berbeda. Negara yang mayoritas dihuni oleh etnis melayu islam ini, tidak mudah memberikan kewarganegaraan kepada etnis Cina atau etnis non-melayu lainnya. Untuk memenuhi syarat menjadi warga Brunai, etnis Cina harus lulus bahasa Melayu dan telah berdiam di Brunei selama 20 tahun atau lebih. Di Brunai akumulasi etnis Cina hanya sekitar 15% dari populasi etnis Melayu (dan hanya 16% dari mereka yang sudah berhasil sebagai warga negara). Pada dasawarsa terakhir perlakuan kerajaan Brunei semakin terbuka, karena sejak 1992 semua sekolah Cina dianjurkan memakai bahasa Inggris dan Melayu, sedangkan bahasa Cina diakui sebagai mata pelajaran tertentu.

3. Di Indonesia etnis Cina yang merupakan minoritas masyarakat memiliki pasang surut dalam kehidupan sosial. Politik kolonial Belanda yang menempatkan komunitas Cina sebagai vreemde oosterlingen (foreign asistics) yang terpisah dari kelompok orang Eropa (European) dan Kelompok Orang Pribumi atau Natives (Mona Lohanda, 1994:2). Posisi ini menempatkan komunitas orang Cina memiliki tugas sebagai pedagang perantara dalam perkembangan kapitalisme perdagangan internasional dengan para petani barang-barang pertanian di pedalaman. Posisi ini pula yang mulai memunculkan ’rasa benci’ atau bibit konflik horizontal kepada kelompok minoritas etnis Cina dari kalangan mayoritas non-Cina (Benny G Setiono, 2002:175). Kelompok pedagang Cina banyak diberi peluang dan kemudahan dalam perdagangan dan usaha dari pembelian barang mentah hasil pertanian, sampai kepada penguasaan monopoli perdagangan Candu, rumah perjudian dan rumah bordil. Sejak jaman kolonial Belanda kedudukan etnis Cina selalu berada dalam tarik menarik akibat kepentingan politik birokrasi negara dan kepentingan perdagangan. Secara historis etnis Cina memiliki posisi pendidikan yang lebih baik dibandingkan etnis mayoritas non Cina. Etnis Cina di Indonesia meskipun jumlahnya hanya 3% dari jumlah penduduk, memiliki kekuatan ekonomi yang dominan. Sebagian besar dari mereka adalah pengusaha besar, pemodal kuat yang memiliki hubungan erat dengan para birokrat negara. Pada masa pemerintahan Suharto mereka adalah para Cukong yang memiliki hubungan khusus dengan anak pejabat/keluarga Cendana, sehingga menurut Arief Budiman (1990) negara Indonesia dijuluki sebagai Negara Kapitalisme Birokrasi Rente. Sampai saat ini meskipun mereka tidak sampai mengatur tataran formal, tetapi kehidupan ekonomi indonesia hampir dipastikan tumbuh dan berkembang dari kekuatan pedagang etnis Cina.
Kedudukan etnis Cina yang mendominasi kehidupan ekonomi nasional kemudian melahirkan rasa benci dan sentimen dikalangan kelompok etnis mayoritas. Sejak lama kehidupan etnis minoritas ini dikaitkan dengan keanggotaan dalam partai komunis dan tindakan subversi dalam kehidupan ekonomi. Dalam situasi sulit dan krisis ekonomi kelompok etnis Cina ini seringkali menjadi sasaran tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok mayoritas yang secara diam-diam dilegitimasi oleh pihak pemerintah (peristiwa pemberontakan komunis, 1965 dan kejatuhan rezim Suharto, 1998). Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, Megawati dan Susilo Bambang Yudoyono, kedudukan etnis minoritas Cina semakin menjadi baik dan mereka sebagai penganut Khong Hoe Tjoe semakin diakui. Di kota Semarang dan Surabaya, penganut kepercayaan ini mendapat legitimasi dari penguasa dengan didirikannya tempat pemujaan terhadap kepercayaan mereka dengan permanen. Disamping itu mereka juga menebar icon budaya Cina dalam bentuk penguatan terhadap peran pahlawan Cina yang bernama Cheng Ho dalam pengembangan sistem perdagangan dan siar agama Islam di Nusantara.

4. Etnis Cina dikenal dibeberapa negara sebagai kelompok pendudukung ideologi kiri (komunisme). Di Thailand yang penduduk etnis Cina mencapai 8,6% dari jumlah penduduk, terdapat perasaan anti-Cina yang sangat kuat disepanjang sejarahnya. Meskipun masyarakat dan kerajaan Thailand bersifat proasimilasi tetapi proses asimilasi sendiri tidak dapat berlangsung dengan mudah, beberapa kendala terjadi lantaran adanya kelas sosial dan unsur budaya Cina sendiri yang tidak akomudatif. Proses asimilasi hanya terjadi pada kelompok komunitas Cina yang telah dilahirkan di Thailand, kelompok ini telah mengalami penyekatan budaya Cina oleh kekuatan Undang-undang yang dibuat oleh kerajaan.

5. Minoritas etnis Cina di Republik Myanmar (dahulu kerajaan Burma), menurut sejarah sudah berada di negeri itu ribuan tahun silam. Meskipun jumlah mereka sangat kecil (1,4% dari jumlah penduduk), mereka sampai saat ini menjadi motor penggerak sektor perdagangan. Seperti halnya yang terjadi di negara-negara lain di Asia Tenggara, kekuatan ekonomi etnis Cina membuat warga mayoritas mengalami perasaan benci dan melihat etnis Cina sebagai orang asing (alien minorities), meskipun demikian perlakuannya dianggap masih lebih baik dibanding dengan etnis India. Proses asimilasi berjalan cukup baik di Myanmar, orang etnis bhama di Myanmar menganggap orang Cina adalah sepupu mereka. Migrasi gelap secara besar-besaran yang terjadi pada tahun 1956, telah menorehkan image negatif kepada kelompok etnis Cina, dengan demikian telah merubah secara relatif pandangan orang bhama. Pada tahun 1960 (2 Januari), telah ditandatangani mutual non-agrssion) antara pemerintah Myanmar dengan Cina. Pertukaran daerah telah berlangsung dengan damai, yaitu dilepaskannya daerah Cina yang bernama Sempadan Sino-Burma dan Namwan Assigned Tract kepada Burma. Sedang kerajaan Burma melepas Kampung Kachin dan sebuah kawasan seluas 73 batu persegi kepada pemerintahan Cina.
Kelekatan budaya Bhama dan Cina terletak pada persamaan sebagai umat Budha, tetapi mereka tetap sadar bahwa warna kebudayaan mereka sangat berbeda. Orang Bhama telah melaksanakan dasar keragaman budaya dalam bentuk filosofi bersatu (diversity in unity). Pihak kerajaan dan rakyat Myanmar merupakan bangsa yang telah mengakomudasi perbedaan itu dalam tindakan yang nyata sampai pada aturan pergaulan sekecil-kecilnya. Masyarakat tampaknya terpengaruh bahwa kebijakan kerajaan soal keberagaman budaya (cultur diversity) akan dikekalkan untuk selama-lamanya. Kekuatan kerajaan Burma adalah meninggikan harapan golongan masyarakat kecil tentang hak dan kewajiban mereka sebagai kekuatan bangsa. Masyarakat kecil kemudian memiliki gambaran bahwa kebudayaan dan sejarah Myanmar adalah hasil keberadaan dari semua golongan dan etnis di masyarakat.

6. Di Kambodia perkembangan penduduk asing yang sangat dikenal adalah dari etnis Cina dan Vietnam. Penduduk dari etnis Cina sejak awal memiliki kekuatan dibidang ekonomi dan perdagangan. Negara kecil dengan penduduk 20 juta ini kelihatan lebih solid dengan politik penyatuan penduduk dengan kekuatan kerajaan dan agama Budha (sami-sami Budha dari faham Theravada). Phnom Penh sebagai kota perdagangan menjadi pusat kehidupan ekonomi Kamboja, merupakan pusat akumulasi etnis Cina. Sejak jaman penjajahan Perancis, etnis Cina menikmati kemudahan dalam bidang ekonomi dan perdagangan. Orang Perancis bahkan mengukuhkan kedudukan etnis Cina sesuai dengan lima kumpulan (congregation) mengikuti daerah asal mereka. Sebagai orang asing (extraterritoriality) mereka menikmati kekhususan untuk melakukan monopoli perdagangan import hampir sepenuhnya (Bank,kilang Beras,transportasi,dan perdagangan). Sampai sekarang golongan etnis Cina masih menikmati kemudahan dari pihak pemerintah, mereka belum berhasil membaur secara budaya dengan penduduk mayoritas di Kambodia. Kelompok etnis Cina di Kamboja masih hidup dengan pola budayanya sendiri dengan sangat bebas, sejak dari jenis makanan sampai pengobatan. Etnis Cina juga mendorong anak-anak mereka untuk masuk lembaga sekolah yang mereka dirikan. Meskipun pihak pemerintah Kamboja mewajibkan mereka untuk belajar bahasa Kamboja dan materi pelajaran tertentu, tetapi pihak birokrasi tidak cakap dan tidak bisa mengawasi pelaksanaan pendidikan yang baik untuk membentuk kekuatan ’nation’ Kambodia.

7. Di Philipina, kelompok etnis Cina tidak memiliki kekuatan politik, tetapi dibidang perdagangan mereka sangat berjaya. Kelompok Cina di Philipina menurut pengamatan keadaannya berimbang dengan kelompok Cina di Thailand (George Mc Turnan Kahin, 1982:932-933). Pada awalnya kelompok etnis Cina sudah melakukan kawin campur, dan proses asimilasi ini didukung oleh Negara. Anak-anak mereka kemudian diterima oleh penduduk Philipina sebagai bagian dari kehidupan sosial mereka (mereka dinamakan kelompok Mestizo). Tetapi kondisi terakhir ini agak berbeda, jumlah penduduk etnis Cina jenis perempuan kian bertambah sehingga menghalangi proses asimilasi. Konsep kebudayaan masing-masing menguat, seiring dengan menguatnya posisi ekonomi minoritas Cina. Proses asimilasi juga terganjal oleh berkembangnya perasaan nasionalisme dan melebarnya kelas sosial diantara mereka.

8. Singapore merupakan negara di Asia Tenggara (diluar Cina daratan) yang penduduk etnis Cina mencapai 77,2% (Sumber: Institute of Southeast Asian Studies, 1997). Setelah Singapore melepaskan diri dari Malaysia (1965), Negara ini menjadi negara imigran pertama di Asia Tenggara yang melaksanakan pemerintahannya secara demokratis. Meskipun demikian pemerintah Singapore menyadari bahwa membentuk bangsa adalah sebuah proses yang panjang dalam masyarakat yang multietnik. Sampai saat ini bahasa kebangsaan tetap bahasa Melayu, meskipun kelihatan sangat simbolik. Bahasa yang digunakan dalam pergaulan birokrasi adalah bahasa Inggris, dan bahasa mandarin sering dipakai dalam transaksi bisnis yang sifatnya informal. Di Singapore pula pemanfaatan bahasa etnis tetap diakomudasi dalam sistem pergaulan. Masing-masing kebudayaan tetap bebas dan otonom melaksanakan kebiasaan dan kegiatan seninya, karena pemerintah tidak mewajibkan adanya pembauran. Di Sengapore memang merupakan negara dengan etnis Cina terbesar di Asia setelah koloni Inggris di Hongkong.

Metodologi dan Substansi
Secara metodologis kedudukan etnis Cina dalam masyarakat lokal disetiap negara mengalami pergeseran yang cukup berarti. Pada masa lalu, kajian tentang minoritas Cina selalu terpusat kepada kekuatan ekonomi dan jenis kebudayaan mereka yang tertutup (George Mc Turnan Kahin, Daniel Levy, H.G. Creel dan C.Lekkerkerker). Dengan pelan-pelan, seiring dengan semakin terbukanya masyarakat Cina dalam pergaulan multilateral, kajian ilmiah tentang keberadaan etnis Cina mulai berubah. Para sarjana Cina mulai berani menguak kedudukan kultural mereka, mereka mengembangkan kepedulian pada masalah-masalah politik, sosial yang tumpang tindih dalam kehidupan kultural mereka. Kekuatan negara yang dimotori oleh partai komunis di China memberi kontrol yang sangat ketat terhadap masyarakatnya. Kehidupan etnis Cina sebagai imigran diseluruh penjuru dunia mulai disoroti dalam konstelasi kehidupan mereka di tanah leluhur (I. Wibowo. 2000: 275-295). Etnis minoritas Cina mengalami disintegrasi dengan masyarakat lokal akibat budaya keturunan mereka sangat tertutup. Kegiatan ekonomi mereka yang dominan berakibat tumbuhnya perasaan sentimen dikalangan kelompok mayoritas. Situasi yang dilematis ini membuat kedudukan etnis Cina kesulitan ditengah masyarakat, mereka tidak dapat bersosialisasi, perasaan sentimen setiap kali dapat muncul dari kalangan etnis mayoritas. Negara juga bersikap ganda, disatu pihak mendorong usaha mereka dipihak yang lain mereka menekan tumbuhnya kebudayaan mereka (Leo Suryadinata). Beberapa pemikiran yang menengarai adanya perubahan metodologi kajian tentang Cina, penilis ungkap dalam tabel berikut:






Tabel I:
Perbedaan Pandangan Sarjana Barat dan Sarjana Cina/Timur tentang Masalah Cina

Pusat Perhatian
Sarjana Barat
Sarjana Cina/Sarjana Timur
1. Masalah Etnis dan kekuatan Ekonomi Masalah Cina adalah masalah tertutupnya budaya Cina dari sentuhan demokratisasi barat. Kemampuan ekonomi diperoleh dari etnis. Ciri utama etnis Cina yaitu bekerja keras, ulet, berani menanggung resiko dan kemampuan tawar menawar
Masalah Cina merupakan ungkapan masalah keunggulan etnis Cina dalam bangunan sistem perdagangan. Phenomena itu akibat dilaksanakannya ajaran Konfusian secara mendasar
2. Masalah Kebudayaan Masalah kebudayaan dari etnis Cina bersandar pada patrilinealisme keluarga yang bermuara dalam famili dan iman. Masalah kebudayaan dari etnis Cina adalah peluang dan kesempatan untuk memahami masing-masing budaya.Kedekatan hubungan budaya Cina dan budaya lokal mengakibatkan pemahaman terhadap pola-pola budaya bergeser kearah studi etnografi sosial yang mendalam
3. Kajian Makro-Mikro Masih melihat hubungan Cina dan Negara, kebudayaan Cina belum banyak dilihat sebagai kekuatan indigenious. Beberapa masih melihat hubungan Cina dan Negara, tetapi mereka sudah menempatkan aspek kebudayaan Cina sebagai unsur dominan. Studi mikro telah dilakukan meskipun masih terbatas pada kasus beberapa orang besar.

Pergeseran metodologi kajian masalah Cina di Asia Tenggara tampak jelas sebagai pergantian paradigma berpikir tentang substansi studi Cina sendiri. Pemikir barat melihat beberapa asumsi dasar yang diperoleh akibat pengamatannya terhadap sejumlah imigran etnis Cina di koloni mereka di Asia.
1. Etnis Cina ditempatkan secara terpisah dengan etnis mayoritas yang ada dibeberapa negara koloni. Pemisahan ini akibat sistem legalitas kekuasaan hukum yang ada didalam pemerintahan kolonial. Keunggulan mereka dibidang perdagangan adalah akibat dari pola-pola kebudayaan yang terdiri dari sistem kepercayaan terhadap nilai-nilai Konfucian.
2. Etnis Cina memiliki kebudayaan dan filsafat dinamis yang kuat dan mempengaruhi perilaku mereka dalam kehidupan keseharian. Dimanapun tempat berpijak mereka akan tetap rajin dan tekun bekerja, berani mengembangkan daya nalar dan keterampilan yang dimiliki. Sebagai imigran etnis Cina tetap tunduk kepada aturan-aturan keluarga menurut garis patriakal dan bersifat sangat tertutup terhadap segala jenis gangguan dan segala bentuk- perubahan yang ada disekitarnya. Orientasi kehidupan keluarga bersifat pengabdian/kebaktian kepada benih keturunan (the religion of seed), sehingga mereka tidak membatasi jumlah anak dalam keluarga.
3. Bagi sarjana Barat, kebudayaan etnis Cina dilihat sebagai bagian yang terpisah dari kebudayaan Asia secara keseluruhan. Kebudayaan Cina bersifat otonom, karena budaya mereka bersifat materialistik yang sangat berbeda dengan pola-pola kebudayaan sebagaian besar etnis di Asia Tenggara yang mengutamakan nilai-nilai religious dan moralitas. Ditengah arus budaya timur terstratifikasi akibat kekuasaan raja (feodalisme), maka budaya Cina telah melengkapinya dengan pembentukan stratifikasi sosial akibat penguasaan modal.
4. Pemikiran tentang etnis Cina merupakan narasi besar (narrative grand theory) yang dikembangkan kalangan sarjana Barat pada umumnya. Pemikiran ini bertumpu pada obyektifitas pengembangan kebenaran yang dibangun secara terpisah dengan kebudayaan Cina dalam arti luas.

Dikalangan para sarjana timur yang beretnis Cina dan non-Cina memiliki beberapa asumsi yang mendasari kajian mereka. Pemikiran mereka bertolak dari sebuah kebangkitan tentang kebudayaan Cina sebagai totalitas perilaku etnis Cina di seluruh dunia.
1. Etnis Cina yang tinggal diperantauan adalah sekelompok etnis Cina dari suku Hakkian (Fakien) yang memiliki kepandaian sebagai pedagang. Mereka berasal dari daratan Cina sebelah timur yang merupakan kelompok terbesar diantara para imigran itu. Mereka memiliki nilai-nilai hidup Konfucian yang kuat dan mengimplementasikan dalam kehidupan keseharian merek. Mempelajarai etnis Cina didaerah koloni perlu memahami kebudayaan etnis Cina di tanah leluhurnya, sebab sejauh pengamatan semua dinamika dan perubahan sosial di negeri Cina akan secara langsung berpengaruh kepada kehidupan etnis Cina didaerah migran. Tradisi kehidupan di tanah leluhur menjadikan kelompok etnis Cina diperantauan memiliki ikatan-ikatan moral dan ideologi tang kuat sebagai etnis terbesar.

2. Tradisi budaya etnis Cina perlu dipelajari perkaitannya dengan tradisi budaya lokal. Sejauh pengamatan para Sarjana Cina dan Asia memahami bahwa kebudayaan Cina adalah bagian yang tidak dipisahkan dengan tradisi budaya Asia pada umumnya. Karena budaya Cina yang selama ini telah berkembang mengilhami sejumlah tradisi yang terjadi pada jenis budaya lokal (filsafat hidup, bangunan dengan arsitektur Cina, lukisan, pakaian, obat-obatan dan sampai kepada jenis makanan). Sejak jaman pra kolonial, sebetulnya telah terjadi asimilasi kebudayaan yang cukup intensif antara budaya Cina dengan budaya lokal secara intersif. Mobilitas pedagang Cina yang membawa barang-barang dagangan dengan jenis teknologi tertentu telah menyebar sebagai komunditas kebudayaan yang hidup dengan warga berbudaya Asia lain.

3. Kehidupan internal Etnis Cina di Asia Tenggara memiliki dinamika yang cukup tinggi, mereka mengalami persaingan didalam kehidupan internal etnis mereka sendiri. Persaingan dagang dan perebutan kekuasaan atas sumber-sumber ekonomi membaut meraka banyak yang harus bekerja sama dengan kekuatan etnis mayoritas. Persaingan internal ini berakibat pergeseran kekuasaan dikalangan kelas sosial mereka sendiri, persaingan ini menyeret pada perpecahan batas keluarga (Klan), hancurnya tradisi, dan lemahnya ikatan primordial mereka.

4. Bagi sarjana timur dan sarjana Cina. Kajian tentang budaya Cina merupakan pembicaraan mengenai interaksi antar budaya dalam basis kebudayaan lokal. Dinamika kebudayaan akan terjadi ketika terjadi manakala dua unsur budaya yang bertemu menghasilkan jenis pemahaman terhadap jenis perilaku tertentu dalam masyarakat lokal. Sehingga memungkinkan adanya meta theoritic social yang muncul menyertai penjelasan-penjelasan terhadap phenomena sosial di aras mikro.

Teori Multikultural: Basis Lokalitas
Konsep asimilasi dimaknai sebagai upaya untuk mengitegrasikan kelompok-kelompok sosial dan sub-kultur yang berkembang di masyarakat ke dalam masyarakat dominan (Popenoe, 1983: 304) dengan demikian akan tercipta satu masyarakat homogen (Kammeyer, Ritzer, Yetman, 1990: 313). Asimilasi memiliki dua bentuk umum yakni ”konformitas” dan ”melting-pot”. Pada bentuk pertama kelompok-kelompok minor mengubah sistem tata nilai mereka dan menerima sistem tata nilai dominan kelompok dominan dalam masyarakat. Sementara pada bentuk kedua elemen masyarakat melebur menjadi satu dalam satu ruang interaksi yang sangat intensif, melakukan transaksi dan pertukaran sistem nilai masing-masing dan menghasilkan satu tata nilai baru. Konsep pertama, pada bagian selanjutnya dalam tulisan ini akan disebut asimilasi tak sempurna dan konsep kedua disebut asimilasi sempurna.
Proses asimilasi yang terjadi di kalangan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari kehidupan sosial umum mereka sehari-hari di lingkungan tempat tinggal mereka. Keluarga memainkan peran penting dalam membentuk sikap terhadap etnis lain dan orangtua dalam kehidupan anak tampak memainkan peran yang signifikan. Hal ini antara lain dibuktikan dengan hasil wawancara silang, yang menunjukkan adanya hubungan paralel antara sikap orangtua terhadap anggota etnis lain dengan sikap siswa. Dalam lingkungan perdagangan unsur utama dalam proses integrasi adalah pembentukan ’trust’ dikalangan para pedagang batik di Pasar klewer. Akan tetapi secara umum, dapat diketahui bahwa orang-orang yang berbeda etnis dapat menerima kehadiran kelompok etnis lain. Atau dengan kata lain sentimen etnis tidak menghalangi interaksi sosial mereka sehari-hari, meskipun dari wawancara yang dilakukan diperoleh informasi adanya klaim keunggulan etnis, hal ini tidak secara jelas mempengaruhi kualitas hubungan antara mereka yang berbeda etnis. Dengan kata lain dalam berlaku inkonsistensi atau pertentangan dalam relasi sikap-prilaku (Newcomb, Turner, Converse, 1981: 100) di kalangan para siswa.
Mengingat sempitnya besaran kasus dalam studi ini ”asimilasi” akan dioperasikan dalam konteks individual dan kelompok-kelompok kecil yang terbentuk di lingkungan sekolah, bukan pada kelompok yang lebih besar (etnis dan kelas sosial). Dari studi yang dilakukan dapat dikatakan bahwa proses asimilasi yang berlangsung secara umum tidaklah melahirkan satu bentuk tata nilai baru yang merupakan perpaduan elemen-elemen sistem yang ada. Dengan demikian proses asimilasi di lingkungan pendidikan tidak mengambil bentuknya yang sempurna (melting-pot).
Pada beberapa kasus kecil yang berkembang di lapangan tampak bahwa asimilasi mengambil betuk konformitas. Hal ini misalnya tampak pada klik lintas etnis, yang mengandalkan nilai etnis dominan sebagai tolok ukur akseptabilitas seseorang dalam kelompok. Salah seorang anggota kelompok yang berasal dari etnis minoritas diterima dalam kelompok oleh sebab sikapnya yang memiliki sosiabilitas dibanding dominasi dari etnis sejenis. Dalam hal ini tampak jelas adanya dominasi etnis mayorotas terhadap etnis minoritas dan kompromi etnis minoritas terhadap etnis mayoritas yang merupakan salah penanda bagi asimilasi yang tidak sempurna.
Ketidak sempurnaan proses asimilasi di sekolah dan dilingkungan perdagangan ini kian jelas, sebagaimana telah disinggung di muka, ditandai dengan masih berkembangnya sentimen etnis dan klaim keunggulan etnis di kalangan siswa. Meskipun adakalanya klaim tersebut merupakan kesimpulan-kesimpulan personal yang diperoleh secara objektif berdasar investigasi personal mereka, tetap saja klaim ini menggugurkan kesimpulan awal tentang etos multikultural di kalangan siswa. Sumber-sumber ketidaksempurnaan asismilasi ini, dengan menggunakan model relasi tidak langsung sikap-perilaku (Newcomb, Turner, Converse, 1981: 101) dapat dideskripsikan sebagai berikut.
Gambar 1
Pembentukan Perilaku Berdasarkan Pengalaman Kelompok











Sumber: Psikologi, 1981 tulisan Theodore M.Newcomb, Ralph H.Turner,
Philip E.Converse, (modifikasi oleh penulis).

Mula-mula dalam diri masyarakat sebenarnya telah tertanam ”pengalaman-pengalaman pendahulu” (referensi) tentang pihak lain. Pengalaman-pengalaman ini bisa berupa hasil investigasi personal maupun hasil penanaman yang dilakukan oleh figur-figur tertentu. Pengalaman ini membentuk sikap terhadap yang lain, apakah positif ataukah negatif, tergantung pada jenis pengalaman-pengalaman pendahulu yang ada pada mereka. Hampir dapat dipastikan sikap negatif akan melahirkan perilaku yang negatif dan sebaliknya sikap positif akan melahirkan perilaku positif. Akan tetapi sebagaimana tampak dalam figur, hubungan ini masih diperantarai atau stidaknya didukung oleh ”situasi-situasi mutakhir” yang melingkupi individu dan objek sikapnya. Situasi-situasi ini akan memperkuat atau sebaliknya merelatifkan sikap individu saat itu.
Pada masyarakat yang bersifat multikultural, tampak bahwa dalam diri mereka, baik yang berasal dari etnis Jawa maupun Cina, kelas menengah atas maupun menengah bawah, berkembang sikap negatif terhadap masyarakat dari etnis dan atau kelas sosial yang berbeda. Meskipun demikian dilingkungan masyarakat tidak menjurus adanya penolakan satu dengan yang lain, artinya dalam masyarakat tidak pernah terjadi konflik terbuka baik antar etnis maupun kelas sosial. Karakter laten konflik ini dimungkinkan tumbuh akibat dari adanya ”situasi pendukung” (Popenoe 1983: 304, 406) asimilasi. Meskipun kehadiran situasi ini tidak serta merta mennghasilkan bentuk asimilasi sempurna di lingkungan masyarakat.
Kecuali ”kemiripan fisikal” hampir seluruh situasi pendukung yang dimaksud Popenoe hadir di lingkungan masyarakat secara terbatas. Setidaknya terdapat tiga situasi pendukung utama bagi proses asimilasi di tempat ini. Ketiga hal tersebut, masing-masing; (1) keberadaan kelembagaan ekonomi pasar; (2) kesamaan bahasa sebagai pengantar komunikasi; dan, (3) sistem nilai yang berasal dari moral agama dan trust.
Unsur pertama memberikan kewenangan formal kepada institusi untuk menanamkan kebudayaan tertentu sesuai dengan garis kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam bidang pendidikan berikut institusi-institusi yang ada di dalamnya memiliki perangkat yang sangat sistematis dalam upaya integrasi antar kelompok sosial dalam masyarakat multikultural. Sekolah memiliki tugas dan kewenangan, misalnya, menanamkan identitas kebangsaan, patriotisme dan sebagainya yang semuanya menuntut leburnya identitas primordial yang tidak berujung pada keyakinan indivdiu sebagai bagian dari satu nation-state. Peran signifikan ini antara lain dibuktikan dalam studi Tilaar (2004) tentang kebijakan pendidikan multikultural di berbagai belahan dunia.
Kesamaan bahasa merupakan salah satu faktor penentu dalam keberhasilan proses integrasi sosial (Popenoe, 1983: 306, Kammeyer, Ritzer, Yetman, 1990: 78-79, 313), sebab bahasa yang sama akan menurunkan konflik dan ”mengikat orang menjadi satu” (Horowitz, 1985: 15). Bahasa sendiri merupakan salah satu komponen kebudayaan dan dengan sendirinya integrasi kultural harus dimulai dan atau menghasilkan integrasi bahasa (Smelser, 1994: 262). Dalam hal ini bahasa bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dan penguasaan bahasa Jawa yang terdistribusi secara merata pada seluruh siswa memutus peluang konflik dan sekaligus meningkatkan peluang integrasi. Kesamaan bahasa sebagai simbol verbal membuat segalanya menjadi jelas dan komunikasi menjadi lancar. Studi-studi tentang konflik antara masyarakat Anglophone dan masyarakat Francophone di Kanada (Toomey, 1999: 92) setidaknya menunjukkan signifikansi bahasa dalam menyumbang konflik sosial. Di sisi lain bahasa juga menjadi alat kekerasan yang memungkinkan dominasi satu kelompok oleh kelompok lain. Hal ini karena bahasa merupakan medium pewarisan berbagai pengetahuan khas sekelompok masyarakat (Samovar, Porter, 2001: 42), tidak terlepas dari kategori ini kesan-kesan ataupun stereotipe-stereotipe atas kelompok lain yang berkembang. Adapun minat beberapa beberapa siswa etnis Cina mempalajari bahasa Mandarin dapat diterangkan sebagai salah satu upaya mereka mengikatkan diri dengan sejarah primordial yang mereka miliki.
Iman Kristen/Katolik dapat dibaca dalam dua kerangka sekaligus, di satu sisi ia menjadi pengikat unsur-unsur etnis yang berbeda namun di sisi lain menghalangi pertukaran ”nilai-nilai” asli yang berkembang pada kelompok-kelompok etnis yang ada. Institusi pendidikan sebagai sektor penting bagi sosialisasi diyakini memainkan peran strategis dalam upaya integrasi elemen-elemen sosial yang ada. Dalam kaitannya dengan kebutuhan membangun kesepahaman kolektif di antara kelompok-kelompok yang berbeda inilah peran dunia pendidikan sebagai media reproduksi kebudayaan tidak dapat dipertahankan. Sebaliknya pendidikan dituntut memainkan fungsinya sebagai agen pembaharu (Bank, 1984; Tilaar, 2004: 244). Dalam fungsi ini pendidikan boleh jadi merekonstruksi atau mendekonstruksi nilai-nilai yang berkembang untuk kemudian menghasilkan sistesis baru yang relevan dan kompatibel dengan kebutuhan yang berkembang.
Meski demikian, dalam kaitannya dengan perbedaan sosial ini peran dunia pendidikan dipandang secara berbeda dalam kajian sosiologi. Dalam optik fungsionalisme tentu saja peran institusi pendidikan tidak lain adalah mereproduksi atau bahkan membangun kembali nilai-nilai yang telah berhasil memberi legitimasi dalam kehidupan. Meski telah banyak mewarnai karya kesarjanaan di berbagai belahan dunia, masyarakat multikultural, yakni “masyarakat yang di dalamnya berkembang banyak kebudayaan” (Watson, 2000:1) tampak masih menjadi bahan kajian yang menarik. Di Indonesia sendiri tema ini menjadi kian penting, setidaknya dengan memperhatikan tiga alasan, masing-masing; fakta keragaman elemen-elemen sosial, konsekuensi-konsekuensi yang mungkin timbul dan kepentingan integrasi nasional. Banyak pihak mengklaim bahwa keragaman tersebut merupakan akar berbagai konflik sosial meletus di berbagai kawasan nusantara beberapa waktu terakhir ini. Meskipun boleh jadi terdapat variabel lain yang memperantarai perbedaan tersebut dan meletusnya konflik (Ahimsa-Putra, 2001).
Konsekuensi paling nyata perbedaan sosial adalah, “perbedaan cara pandang atas satu hal yang sama” yang sangat berpeluang membuat interaksi sosial antar anggota kelompok yang berbeda menjadi sulit terlaksana (Lippmann, 1977:2). Perbedaan semacam ini seringkali juga disertai berkembangnya setereotip satu kelompok atas kelompok lain yang dengan sendirinya kian menurunkan kualitas interaksi sosial yang berlangsung. Studi Freedman (1999) menunjukkan bahwa kualitas interaksi sosial memiliki pengaruh besar terhadap performa akademik dalam dunia pendidikan, baik unjuk kerja profesional tenaga pendidikan maupun performa akademik siswa.
Dari beberapa pernyataan di atas kebutuhan untuk membangun keragaman (multikulturalisme) yang harus dipenuhi masyarakat dengan komposisi kultur yang beragam adalah integrasi sosial. Intergrasi ini penting untuk kelangsungan masyarakat itu sendiri (Watson, 2000:3), dan untuk menjawab tantangan ini sebuah masyarakat dapat memilih dua jalan integrasi, disebut pula asimilasi, yang satu sama saling bertentangan. Cara pertama disebut sebagai asimilasi dengan jalan paksaan (coercive assimilation), sementara jalan kedua, secara sederhana, dapat disebut sebagai “mendorong tumbuhnya toleransi”. Sejarah menunjukkan berbagai cara paksa untuk mencapai ’persatuan-kebangsaannya’, misalnya genocide kaum Yahudi oleh Nazi, politik apartheid, pembersihan etnis (ethnic cleansing) di semenanjung Balkan ataupun cara-cara lain yang menunjukkan prosedur sistematis yang diupayakan untuk menghalangi tumbuhnya satu kelompok dan menegakkan dominasi kelompok lain (Watson, 2000:3; Kammeyer, Ritzer, Yetman, 1990:313). Di lain pihak terdapat pula model integrasi kultural yang menempuh jalan damai. Meski demikian dunia pendidikan sama-sama memainkan peran sisgnifikan dalam dua corak integrasi sosial ini.
Sepanjang pengertian masyarakat multikutural sebagai masyarakat dengan komposisi kultur yang jamak, kota-kota besar di pantai utara Jawa merupakan salah satu sampel yang representatif. Implisit dalam istilah “multikultural” itu sendiri adalah konsep kultur yang merujuk pada kesamaan bahasa, sejarah, keyakinan agama, asal wilayah geografis (Watson, 2000: 1) kelas, ras, kebangsaan dan etnis (Lippmann, 1977: 3). Berkenaan dengan hal ini masyarakat kota-kota besar di Pantai Utara Jawa merupakan komunitas yang tersusun dari atau mengalami diferensiasi ke dalam kelompok-kelompok kecil atas dasar kesamaan-kesamaan tersebut.

Kesimpulan

Pergaulan etnis mayoritas dan etnis minoritas Cina, sejauh dapat dipahami dengan model interaksi mikro telah merajut sejumlah evidensi sosial kultural.

1. Teori –teori sosial yang berorientasi kepada besaran narasi (grand theory sosial) tampaknya sudah harus ditinggalkan. Kajian tentang etnis Cina yang pada masa lalu bertolak dari generalisasi teoretik sekarang ini sudah mulai bergeser kepada bentuk pendekatan spesifik dengan berorientasi kepada penjelasan substansi lokal. Kajian mikro sosiologi mulai banyak diminati untuk melakukan jenis pemahaman baru yang lebih empiris. Model teoritis yang dihasilkan adalah dari sejumlah evidensi yang bertolak dari basis interaksi dalam tingkat pergaulan keseharian. Model teoritis ini dinamakan meta theoritic social yang muncul menyertai penjelasan-penjelasan terhadap phenomena sosial di aras mikro.

2. Pergaulan antar etnis dapat dilihat dalam bentuk model interaksi mikro yang terjadi pada kehidupan keseharian dalam beberapa peluang kesempatan di tengah masyarakat. Dilingkungan pendidikan posisi pergaulan antar etnis menjadi lebih mudah dilakukan dan seringkali membantu masing-masing etnis yang berbeda untuk mengadakan pendalaman lebih lanjut dalam pergaulan multikultural mereka. Kajian sosiologi mikro dapat dipertajam dengan pemanfaatan metodologi yang tepat, seperti pendekatan semiotik, interaksionisme simbolik, sosiometri, etnografi, etnometodologi dan historian soscial science. Model pendekatan tersebut menjadi model pendekatan yang relevant bagi pengkajian tentang hubungan interaksi antar etnis mayoritas dengan etnis minoritas disuatu wilayah.

3. Studi Cina di Asia Tenggara, perlu dikembangkan dengan intensif dalam rangka mendapatkan temuan bersama tentang perilaku etnis Cina. Pendekatan kebudayaan (Cultural Approach) dimasa mendatang menjadi landasan utama untuk memahami proses interaksi masyarakat minoritas etnis Cina dalam upaya integrasi mereka dengan masyarakat etnis mayoritas. Kajian tentang etnis Cina yang dilakukan oleh para sarjana Asia (khusus etnis Cina sendiri), memiliki spesifikasi yang bertolak dari sumber-sumber kekuatan lokal. Etnis Cina merupakan minoritas imigran di Asia Tenggara menjadi bagian dari totalitas perkembangan kebudayaan Cina pada umumnya. Perilaku etnis Cina memiliki konsistensi dengan perilaku















Referensi

Agus Salim. 2005. Pola Hubungan Antar Siswa Dalam Masyarakat Multikultural (studi Kasus Terhadap Siswa SMP Maria Goretti di Kota Semarang). Disertasi Doktor Tidak Diterbitkan, FISIP Sosiologi –Universitas Indonesia, Jakarta.
Agus Salim. 2006. Stratifikasi Etnis, Kajian Mikro Sosiologi Interaksi Etnis Jawa dan Cina di Kota Semarang. Penerbit Tiarawacana, Jogya.

Benny G Setiono. 2002. Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Penerbit Elkasa, Jakarta.

David Popenoe. 1992. Sociology.Fifth Edition. Prentice Hill. Inc. New Jersey.

George Mc Turnan Kahin (ed). 1982.Kerajaan dan Politik Asia Tenggara. Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Malaysia, Kuala Lumpur.

Han Sung Joo. 2000. Changing Values In Asia. Japan Centre for International Exchang, Tokyo

Iris Chang, 2003. The Chinese in America, a narrative history. Viking-Penguin Books
I. Wibowo. 2000. Berkaca dari Pengalaman Republik Rakyat Cina, Negara dan Masyarakat. Penerbit PT.Gramedia, Jakarta.

Kenneth C.W. Kammeyer, George Ritzer, Norman R Yetman. 1990. Sosiology Experiencing Changing Societies. Allyn and Bacon.USA.
Kong Yuanzhi, 1999. Silang Budaya Tiongkok Indonesia. BP Kelompok Gramedia, Jakarta.

Kusuma Snitwongse (ed), 2005. Ethnic Conflicts in Southeast Asia, Institute of Southeast Asia Studies, Singapore

Leo Suryadinata (ed),1992. Pribumi Indonesians, The Chinese Minority and China (3rd Edition).Heinemann Asia, Singapore.

……………………….., 2004. Ethnic Relation and Nation Building in Southeast Asia, The Case of the Ethnic Chinese, Institute of Southest Asian Studies, Singapore.

…………………….., 2004. Chinese Indonesians, State Policy, Monoculture and Multikulture. Eastern Universities Press, Singapore
Lee Hock Guan (ed). 2004. Civic Society in Southeast Asia. Institute of Southest Asian Studies, Singapore.

Muljono Djojomartono, 1967, Masjarakat Tion-Hoa dalam Rangka Assimilasi dan Integrasi ke dalam Nation Indonesia Bhineka Tunggal Ika, Fakultas Keguruan Ilmu Sosial IKIP Malang Pusat, tidak diterbitkan
Tilaar. HR. 2005. Pendidikan Multikultural. Penerbit Gramedia, Jakarta.
Theodore M.Newcomb, Ralph H.Turner, Philip E.Converse, 1991. Psikologi Sosial, Penerbit Diponegoro. Bandung.
Saw Swee (ed). 2005. Asean China Relation, Realities and Prospects. Institute of Southest Asian Studies, Singapore.

Tim Lindsey (ed), 2005. Chinese Indonesians, Remembering, Distorting, Forgetting, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore

Thang D Ngayen dan Frank Jurgen Richter.2003. Indonesia Matters, Diversity, Unity and Stability in Fragile Times. Time Edition. Singapore.

James Kynge, 2006. China Shakes The World, The Rise of Hungry Nation. Weidenfield and Nicolson. London.

Jemma Purdey , 2006. Anti China Violence in Indonesia, 1996-1999, Asian Studies Association of Australia, Singapore University Press.
Wang Gungwu.2005. Nation Building Five Southeast Asian Histories. Institute of Southeast Asian Studies. Singapore.
Watson, CW, 2000, Concepts in the Sosial Sciences, Open University Press, New York.

CURRICULUM VITAE


A. IDENTITAS
1 Nama Lengkap Dr. Agus Salim.MS
2 NIP 131 127 082
3 Pangkat/Golru Lektor Kepala/IV b
4 Jabatan Lektor Kepala
5 Tempat Tanggal Lahir Semarang,23 Nopember 1955
6 Alamat Jl Poncowolo Timur II/398
Desa Pendrikan Lor
Kecamatan Semarang Tengah
Kota Semarang
Provinsi Jawa Tengah
7 Telepon Rumah (024) 3555.282
HP 081575556292 (kerja) 0818249218 (pribadi)
Kantor (024)3562.685 dan (024)70701889
8 e-mail agussocio2001@yahoo.com


B. PENDIDIKAN
1 Sarjana Muda 2 tahun Pendidikan Sosial 1978 IKIP Semarang
2 Sarjana Lengkap 3 tahun Pendidikan Sosial 1981 IKIP Semarang
3 Magister 2.5 tahun Studi Pembangunan Fakultas Pertanian Sosial Ekonomi 1990 IPB Bogor
4 Doktor 5 tahun Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2005 Universitas Indonesia



C. TUGAS MENGAJAR
No Mata Kuliah Program Studi
1 Metodologi Penelitian Sosial PLS
2 Metodologi Penelitian Sosial (Pendekatan Kualitatif) PLS, Psikologi, Pendidikan Sosiologi Antropologi
3 Pengantar Sosiologi Pendidikan Sosiologi Antropologi, PLS dan Psikologi
4 Teori Sosiologi Klasik dan Modern Pendidikan Sosiologi dan Antropologi
5 Sosiologi Perubahan Sosial PLS
6 Sosiologi Pembangunan PLS
7 Ekonomi Pembangunan PLS
8 Sosiologi Olah Raga Pasca Sarjana –Unnes
9 Filsafat Pendidikan Manajemen Sekolah-FE Unika Sugiyopranoto- Semarang


D. PENELITIAN & PENGABDIAN
No Kegiatan Penelitian & Pengabdian Tahun Sumber Dana
1 SBM dilingkungan Sekolah Swasta di Jawa Tengah, 1996. Bappeda, Provinsi Jawa Tengah.
1996 Direktorat SLTP
2 Beaya Produksi Pendidikan di Jawa Tengah, 2001.
Balitbangda, Jawa Tengah.
2001 Balitbangda Jawa Tengah
3 SBM di 30 Provinsi di Indonesia, 2002. Direkturat SLTP Departemen Pendidikan nasional.
2002 Direktorat SLTP
4 Bantuan Operasional Menejemen Mutu, di 15 Provinsi di Indonesia Barat dan Timur, 2003. Direkturat SLTP Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan nasional.
2003 Direktorat SLTP
5 Model Pendidikan Anak Jalanan, Pengembangan Basis Keluarga Inti dan Modal Sosial di kalangan Keluarga Miskin di Kota Semarang dan Tegal. Kerjasama Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, FIP UNNES dengan Direktorat Jendral PLSP, 2003
2003 Direktorat Jendral PLSP
6 Monitoring : Program Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) Tahun 2001. Kerja Sama Direktorat SLTP dengan Universitas Negeri Semarang, 2001.
2001 Direktorat SLTP
7 Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Tingkat SD/MI, SLTP/MTs dan SLTA/MA di 15 Provinsi di Indonesia, Kerja Sama Universitas Negeri Semarang dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Nasional, 2004.
2004 Balitbang Diknas
8 Pengembangan Infrastruktur Pendidikan Tingkat SD/MI, SLTP/MTs, SLTA/MA di 15 Provinsi di Indonesia, Kerja Sama Universitas Negeri Semarang dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Nasional, 2004.
2004 Balitbang Diknas
9 Pola Hubungan Antar Siswa Dalam Masyarakat Multikultural (Studi Kasus di SMP Maria Goretti Semarang) 2005 Pribadi
10 Interaksi Etnis Jawa dan Cina di Pasar Klewer- Surakarta 2006 Pribadi
11 Interaksi Etnis Melayu dan Cina di Tanjong Malin-Malaysia 2007 Unnes-UPSI


E. PUBLIKASI BUKU
No Judul Buku Penerbit Tahun
1 Bangunan Teori Dalam Penelitian Sosial IKIP Semarang Press 1994
2 Teori dan Paradigma Penelitian Sosial Dari Denzin, Guba dan Penerapannya Tiara Wacana Jogyakarta 2001
3 Perubahan Sosial, Sketsa Teori dan Penerapannya untuk Kasus Indonesia Tiara Wacana Jogyakarta 2003
4 Indonesia Belajarlah, Membangun Pendidikan Indonesia (Pengantar Mochtar Buchori) Penerbit Gerbang Madani
Suara Merdeka 2005
5 Stratifikasi Etnik
(Kajian Mikro Sosiologi Interaksi Etnis Jawa dan Cina) Tiara Wacana
Jogyakarta 2006
6 Bangunan Teori
(Metodologi Penelitian Untuk Bidang Sosial, Psikologi dan Pendidikan Tiara Wacana
Jogyakarta 2006
7 Teori dan Paradigma
Penelitian Sosial Tiara Wacana
Jogyakarta 2006

F.KEGIATAN ORGANISASI

1. Anggota Ikatan Sarjana Sosiologi Indonesia, sejak 1995.
2. Direktur Lembaga Studi Pembangunan Wilayah, Salatiga, sejak 1998


G. TULISAN ILMIAH

1. Media masa local, seperti Suara Merdeka, dan Wawasan
2. Media Masa Nasional : beberapa tulisan ada di harian Kompas
3. Majalah Lokal : Tulisan ilmiah ada di journal Lembaran Ilmu Pengetahuan UNNES, Majalah Edukasi FIP-UNNES dll
4. Majalah Lokal : BIMASUCI terbitan Bappeda Provinsi Jawa Tengah
5. Majalah Ilmiah Nasional : Prisma, terbitan LP3 ES


Semarang, 1 Maret 2006


Dr.Agus Salim.MS