Friday, February 23, 2007



Prof.Satmoko in Memorial:

Ilmu Pendidikan Humanistik Dari Seorang Nasionalis

(23-Desember 2006)

Oleh: Dr.Agus Salim,MS*.

Prof.drs.Satmoko (salah seorang guru besar FIP Unnes) telah meninggal dunia pada tanggal 23 Desember (jam 18.54) di RS Telogorejo Semarang. Beliau adalah dosen biasa, pemikirannya sederhana, bahwa pendidikan itu proses yang membawakan nilai-nilai pencerahan. Tetapi Prof.drs.Satmoko memiliki konsisten yang luar biasa sebagai Bapak, sebagai Guru dan Sebagai Teman Pengajar. Dalam gemericiknya air hujan memasuki persada akhir Jumat malam, belia meninggal kefanaan dan menuju Pusat Keabadian. Bagi saya (salah satu murid), beliau adalah seorang figur ’Bapak’ (hampir separuh dari 10 putra belia adalah teman sekolah saya di SMA III Smg dan putra ke 7 adalah Dr. Sri Mulyani Indrawati, Menkeu Kabinet sekarang), beliau adalah ’Guru’ saya (untuk MK. Metode Pengajaran) dan sekarang ini beliau adalah ’Colega senior’ yang masih aktip di Fakultas Pasca Sarjana UNNES (MK.Dasar-dasar Kependidikan). Beliau meninggalkan seorang Istri (Prof.Dr.Sri Ningsih) dan 10 putra/i pada usia 79 tahun. Kepergian beliau sebagai salah satu dari tiga Guru Besar emiritus yang masih bersedia mengembangkan MK Ilmu Pendidikan di Fakultas Ilmu Pendidikan UNNES, sungguh merupakan kehilangan besar bagi Komunitas Ilmu Pendidikan.

Sebagai pelopor perkembangan Ilmu Pendidikan beliau mengutamakan pendidikan nilai; yaitu memiliki pandangan filosofi yang tegas tentang humanisme, dan nasionalisme. Pandangannya ini segaris dengan teman colega beliau di Universitas Negeri Jogyakarta (Prof.Dr.Noeng Muhajir, Prof.Dr.Sodik Azis Kuntoro, Med.). Baginya mendidik guru adalah membangun karakter bangsa Indonesia yang kokoh, beliau mengakui bahwa selama ini Indonesia belum pernah menemukan landasan filosofi yang relevant dengan jiwa bangsa Indonesia. Berikut ini hasil rangkuman pemikiran beliau dari wawancara, ketika penulis ingin membuat kerangka pemikiran filosofis tentang mashab pendidikan di Indonesia dua bulan sebelum beliau wafat.

Ilmu Pendidikan Indonesia: belum pernah terumuskan

Menurut beliau bangsa Indonesia belum pernah merumuskan filsafat pendidikannya sendiri, sampai sekarang karena banyak distorsi. (1). Indonesia begitu merdeka dan bebas dalam berpikir kita belum memanfaatkan kebebasan itu. Kita terbentur pada kebinekaan. Secara historis, di Indonesia sebelum Belanda datang sudah memiliki ’sistem’ pendidikan sendiri. Yaitu jaman Mataram sebelumnya Majapahit, Sriwijaya dan sifatnya feodalistis. Budaya feodal sifatnya sentralis tidak desentralistik sehingga menjadi panutan yang kuat. Para pemikir Indonesia seperti Ronggowarsito yang memikirkan futurisme itu dan sudah meramalkan bahwa jaman yang akan datang bakal terjadi pluralisme yang cenderung tidak beraturan, nilai-nilai dasar budaya Indonesia yang plural belum sempat menjadi suatu sistem yang dianut oleh semua pihak.(2). Sampai sekarang belum pernah suatu teori pendidikan yang didukung oleh riset, (risetnya itu selalu beracuan Amerika). Di Indonesia sifat pendidikan direduksi menjadi ’schooling’ atau sekolah formal, hal itu dinilai terlalu tergesa-gesa. Harusnya secara embrional, pendidikan harus dilihat dalam kekuatan keluarga, bagaimana orang tua, dan masyarakat mendidik anak-anaknya (filsafat ing ngarso asung tuladha). Guru sekolah itu kedudukannya ada dalam proses persekolahan, guru adalah fasilitator (ing madyo mangun karso) yang aktip mendorong anak dalam arah yang benar. Tetapi guru yang berkualifikasi tidak sempat mengenal siswanya karena tanggung jawabnya cukup besar tetapi gajinya kecil.

Prof. Satmoko melihat kejadian sebagai akar fenomenologi yang berkembang di Indonesia. Pemikiran tentang sistem pendidikan Nasional, embrionya berasal dari Ki Hajar Dewantara yang menanamkan nilai dasar budaya Indonesia. Taman Siswa bukan penonjolan budaya jawa, tetapi perlawanan budaya lokal kepada pemerintah kolonialisme Belanda yang mendapat pembenaran dari berbagai suku-suku lain. Pada dasarnya mendidik itu adalah tanggung jawab yang mesti ditangani orang tua, bukan guru. Orang tua itu tidak siap untuk mendidik, karena dia melahirkan anak tanpa ilmu pendidikan, tapi secara instinktif/intuitif. Orientasi filosofi orangtua adalah sederhana, yaitu berupaya menanamkan nilai-nilai kemandirian untuk anak, dan sekaligus memberi bekal untuk dapat meneruskan hidupnya. Lalu orangtua menyadari bahwa dalam hidup itu, manusia tidak hanya mengejar kejerahan materi tapi hendaknya juga menyiapkan diri di masa akhir dunia. Dengan demikian hendaknya yang dibekalkan pada anak, adalah persiapan untuk hidup didunia dan akhirat. Beberapa orang kemudian dapat saling membandingkan pengalaman masing-masing.

Praktek Pendidikan dengan Percontohan

Prof Satmoko menilai bahwa pengaruh Amerika besar sekali terhadap keberadaan sistem pendidikan di Indonesia. Departemen Pendidikan Nasional hanya mengambil filsafat ’tut wuri handayani’. Pendidik-pendidik kita yang belajar di Amerika tidak mampu membendung masuknya liberalisasi,dan individualisasi. Anak dalam teori behavioralistik di asumsikan merupakan potensi, naturalistik harus didukung dengan filsafat ’Tut Wuri Handayani’. Padahal Ki Hajar Dewantara mengajarkan ketiga kesatuan (’Tripusat’) tak terpisahkan. Karena seorang anak juga butuh diberi contoh (tuladha), dan guru sebagai fasilitator harus mampu memberi arah pendidikan nilai yang jelas. Sehingga kita merupakan guru Indonesia menjadi korban; disatu pihak kita belum memiliki filosofi Indonesia tetapi ditataran praxis mengalirlah praktek pendidikan dengan program pengajaran yang sangat liberal. Pendekatan kompetensi diterapkan dalam pendidikan dan teknologi di sikapi sebagai panglima yang mengarahkan mutu pendidikan. Kita sekarang ini bisa menyaksikan ukuran-ukuran mutu hasil pendidikan yang dikaitkan dengan peningkatan knowledge. Ujian Negara (UN) menjadi patokan, padahal kita tidak menerima anak sebagai unsur teknologi tetapi sebagai pribadi manusia.

Indonesia sebetulnya telah memiliki filsafat Pancasila sebagai landasan filosofi pendidikan, pada masa lalu Pancasila telah kehilangan spiritnya karena inkonsistensi sikap dari bangsa kita. Filsafat Pendidikan Pancasila mengajarkan banyak hal, ada unsur religi, demokrasi, human relation, sampai pada keadilan.

Tapi di Indonesia dengan masuknya liberalisme dan kapitalisme, kita menjadi sangat behavioristik. Anak didik dipaksa untuk kreatif, inovasi dan bebas, sementara guru tidak bertanggung jawab kepada pembentukan nilai-nilai anak. Dengan demikian liberalisme dan kapitalisme hanya melahirkan kemampuan untuk memilih peluang, tetapi tidak menghasilkan sikap dan moral.

Bagi Prof.Satmoko hidup sebagai ’patron’, selama hidupnya ia memberi tulodho kepada Istri dan 10 anaknya untuk hidup sederhana dan mengembangkan nilai-nilai hidup normatif berdasarkan ajaran agama. Kondisi ini tidaklah mudah, apalagi pada masa jaman Orde Baru dimana tuntutan kemajuan materi sangat tinggi. Dengan kesederhanaan itu ia menghantar para puteranya menapaki kehidupan dengan pasrah dan tawakal. Baginya mendidik anak itu dimulai dari keluarga (millieu), lingkungan kerja (beliau pernah menjadi Dekan selama 2 periode) dan dalam keseharian selalu diupayakan kaidah hidup ’dadi guru, ora guroni tapi naberi’ (menjadi guru jangan sekali-kali merasa lebih pinter, tetapi memberi contoh).

Meskipun putranya menjadi Menteri Keuangan dan menantunya menjadi Dirjend Kelautan (eselon I) yang memimpin masuknya lembaga donor internasional untuk meningkatkan mutu SDM, Satmoko tetap memiliki idealisme dalam membangun pendidikan di Indonesia. Baginya modal asing telah mencabut dari akar (uprot) banyak kemampuan mandiri bangsa ini, mulai dari kemampuan petani, pedagang, pemodal dan birokrat. Sistem pendidikan harus dikembangkan dengan memberi kepercayaan kepada anak didik sepenuhnya. Untuk itu guru harus memiliki idealisme dan panggilan hati (beruf) untuk mencintai anak didiknya, sikap ini tidak dapat didapat dari sekolah tetapi perlu dilatih dalam kehidupan keseharian.

Selamat Tinggal

Kini Prof.Satmoko telah tiada, seorang yang biasa dan sederhana tetapi beliau memiliki magnitute kehidupan yang kuat, memiliki semangat idealisme yang besar bagi 10 anak, 25 cucu dan sekian ribu murid yang ditinggalkan. Tidak banyak orang yang seperti beliau pada masa kini, mewarisi sikap dan kepedulian kepada pendidikan dan diterapkan kepada pendidikan anak-anak dirumah. Dikalangan anak-anak beliau, Pak Sat (panggilan akrab) adalah seorang bapak yang penuh karisma yang periang dan selalu membuat Juke (cerita lucu) menanggapi perkembangan modern. Beliau pengagum artis kenamaan Agnes Monica, karena dinilai memiliki prospek untuk maju dan kelihatan telah mempersiapkan kariernya. Sebagai bapak dengan makanan unggulan tempe goreng, beliau juga memiliki perasaan romantisme yang tinggi. Pak Sat juga sempat membuat Hymne Unnes yang pada upacara prosesi pelepasan beliau dilingkungan senat guru besar (24 des) diperdengarkan. Lengkaplah sudah pemilikan Pak Sat sebagai guru, guru besar dan pinandito yang dimiliki Unnes. Dengan rasa haru dan bangga kita melepas kepergian pak Sat: “selamat tinggal pak Sat, kami rela melepaskanmu, karena kami yakin bahwa Satmoko muda masih dapat lahir kembali, lewat anak, cucu dan para murid yang mengembangkan pemikiranmu....Amien!. (Dr.Agus Salim,MS)


* Agus Salim, Doktor Sosiologi lulusan Universitas Indonesia, Pembantu Dekan Urusan Akademik, Fakultas Ilmu Pendidikan UNNES. Penulis Buku Indonesia Belajarlah, terbitan Gerbang Madani Semarang.

3 Comments:

At 10:07 PM , Anonymous Anonymous said...

KAmi tidak akan melupakan jasa-jasa Pak Satmoko.
Mahasiswa

 
At 11:15 PM , Anonymous Anonymous said...

Take care!

 
At 2:44 PM , Anonymous Anonymous said...

simply dropping by to say hello

 

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home